Senin, 02 Mei 2011

MY PHILOSOPHY

            Kehidupan, sangatlah dinamis. Dari waktu ke watu, terus mengalami perubahan. Laksana manusia, yang dengan bertambahnya lama dia menghirup udara ini, semakin dewasalah juga pemikirannya. Akan tetapi, terkadang, manusia-manusia dewasa, sangat sulit untuk dipahami jalan pikirannya.
Ingatkah kita sewaktu kita kecil, kita begitu polos memandang sekitarnya, begitu sederhana yang ia pikirkan, tapi kesederhanaan itu tidak menghalanginya untuk menjadi bahagia. Bahkan kebagaiaan kita, sering kali kita dapatkan sewaktu kita kecil. Semakin dewasa kita, semakin banyak yang kita pikirkan, semakin ruwet yang ada di benak kita. Dan tidak sedikit kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang sudah dewasa.
Seperti itulah kehidupan saat ini, semakin tua umurnya, semakin banyak pengalamannya, semakin banyak yang harus dipikirkannya. Tapi apakah kedewasaan itu, semua itu, menjadikan kehidupan ini semakin membaik? Suatu tanda Tanya yang perlu dikaji.
Kehidupan di dunia ini, adalah kumpulan dari kehidupan-kehidupan individu-individu yang mengumpul menjadi satu, dari bongkahan mozaik-mozaik kehidupan diri kita, keluarga kita, tetangga kita, dan bahkan ketua RT kita.
Setiap orang mempunyai pandangan tersendiri mengenai hidupnya. Banyak factor yang menyebabkan setiap orang mempunyai pandangan hidup yang berbeda. Diantaranya adalah agamanya, lingkungannya, pendidikannya, asuhan orangtuanya, buku-buku yang dia baca, teman-temannya atau bahkan acara televisi yang biasa dia tonton.
            Usia-usia remaja, dikala usia-usia dimana seseorang mencari ilmu di sekolah yang dikatakan “tinggi” ini, adalah masa-masa dalam pencarian jati diri. Setiap kita, mempunyai idealisme tersendiri. Akan tetapi terkadang idealisme tersebut juga terpengaruh oleh lingkungan tempat kita berkecimpung di dalamnya. Sehingga tidak jarang pula pandangan hidup sering berubah karena berubahnya pemahaman tentang hidup ini. Dan saya bersyukur juga karena berubahnya pemahamanku cenderung ke arah yang lebih baik.
            Agama saya adalah Islam, sehingga sedikit banyak falsafat hidupku akan dipengaruhi oleh agama yang saya anut ini, yang sampai detik ini, rasional manusia manusia menyetujui bahwa agama yang haq itu adalah agama Islam.
            Kita terlahir di dunia ini bukanlah suatu kebetulan belaka seperti apa yang dikatakan oleh para kaum materialisme pengikut darwinisme. Sangat tidak masuk akal jika di suatu tempat ada tumpukan besi yang berserakan itu, pada suatu waktu akan menjadi sebuah mobil yang bisa dinaiki manusia. Jangankan mobil yang bentuknya rumit, bolpoint saja yang bentuknya sesederhana itu pastilah ada pembuatnya yang dibuat secara sengaja dan dengan memperhatikan fungsi-fungsinya. Apalagi kita sebagai manusia yang di dalamnya terdapat keajaiban-keajaiban. Dapat kita ingat pelajaran di SMA kita, ada penyakit down sindrom yang disebabkan karena ada kelainan jumlah kromoson yang ada dalam sel kita, betapa kecilnya penyebab itu, tapi betapa besarnya akibat yang ditimbulkannya. Jadi sudah barang tentu, akal rasional manusia bermuara pada suatu kesimpulan bahwa manusia, alam raya ini diciptakan secara sengaja dengan maksud dan tujuan yang jelas oleh Sang Maha Pencipta yang berkuasa atas segala alam beserta isinya.
            Dan itulah yang menjadi falsafah hidupku, bahwa kita diciptakan di dunia ini mempunyai tujuaan tertentu, dan kita telah diberi kabar dari yang menciptakan kita yaitu Allah lewat firmanNya melalui perantara utusanNya yaitu Nabi Muhammad SAW bahwa kita diciptakan di dunia ini adalah agar kita menyembah, tunduk dan patuh terhadapNya. Jadi seharusnya setiap tindakan yang kita lakukan adalah dalam rangka kita beribadah kepadaNya.
            Bagiku beribadah tidak hanya sebatas kita melaksanakan sholat, puasa, dzikir, membaca Al Qur’an saja, tapi setiap perbuatan kita bisa bernilai ibadah dan mendapat pahala jika kita niatkan hanya untuk mencari ridho dariNya. Kita makan, kita niatkan untuk kita belajar, kita niatkan untuk menambah ilmu pengetahuan, kita niatkan ilmu yang kita dapat akan kita gunakan untuk membantu sesama, itu sudah bernilai ibadah yang sangat luar biasa derajatnya disisi Allah. Bahkan bagi yang sudah menikah, berhubungan suami istripun itu adalah salah satu bentuk ibadah dengan cara yang lain pula asal diniatkan untuk ibadah.
            Tentang kebahagiaan. Bahagia yang hakiki adalah berasal dari dalam diri sendiri. Kita bahagia tidak berdasarkan kekayaan harta yang kita raih, bukan berdasarkan pangkat yang kita sandang, bukan berdasarkan ketenaran yang menyelimuti diri kita. Saya rasa hampir semua orang telah mengetahui tentang konsep ini. Tapi banyak sekali dari kita yang tidak mengimplementasikan pengetahuan yang dimiliki tersebut menjadi suatu pemahaman yang akhirnya dijadikan landasan untuk menghadapi suatu masalah yang menimpa hidupnya. Banyak sekali yang terobsesi yang mengejar harta, mengejar pangkat maupun ketenaran dengan alibi ingin mencari kebahagiaan, tapi apa yang kita dapati. Bahkan kebanyakan dari mereka merasakan tekanan, siksaan batin, target-target yang selalu menghantui pikiran mereka yang pada akhirnya malah kegelisahan yang mereka dapat.
            Jumlah manusia di dunia ini sekitar 7 milyard orang. Dan kita merupakan salah satu darinya, sehigga hidup kita ini adalah terlalu kecil untuk kita perlihatkan pada dunia, terlalu remeh untuk kita banggakan kepada mereka. Toh mereka juga tidak kenal dengan kita, toh mereka juga tidak akan peduli dengan kita. Maka menurut saya sederhana saja dalam menghadapi hidup ini. Karena kesederhanaan lebih dekat dengan ketulusan, dan ketulusan lebih mudah untuk membuka hati.
            Menurutku, berbuat sebaik mungkin pada apa yang kita lakukan sekarang, dan berbuat baik kepada orang-orang terdekat kita adalah salah satu bentuk kesederhanaan tersebut. Mungkin bagi sekitar 7 milyard orang tadi, kita bukanlah siapa-siapa bagi mereka. Tapi bagi orang-orang terdekat kita, kita adalah “seseorang”, seseorang yang mungkin merupakan orang yang sspesial baginya, mungkin kita adalah seseorang yang bisa mengubah hidupnya, mngkin kita adalah seseorang yang selalu menjadi panutan baginya, mungkin kita adalah seseorang yang bisa meringankan beban yang ia tanggung. Tapi mungkin juga kita merupakan seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Jadi, daripada keburukan yang kita timbulkan, maka menurutku, lebih baik kita menanam kebaikan-kebaikan, berbuat baik kepada orang-orang terdekat kita, toh energi yang kita keluarkan untuk berbuat baik atau buruk itu sama, maka mengapa kita memilih melakukan berbuat buruk, jika berbuat baik itu mungkin.
            Ada sebuah kisah fiktif yang pernah kudengar yang bisa sedikit menjelaskan tentang arti kebahagiaan itu. Ada sepasang petani yang bergandengan tangan dari yang berjalan di pematang sawah, hendak pulang. Kemudian ada sepasang suami istri yang lewat dengan mengendarai sepeda motor. Tiba-tiba petani tersebut bilang kepada istrinya, “Duh bu ne, enak ya kalo punya sepeda motor, bisa cepet nyampe’ rumah, tanpa harus susah-susah jalan kaki gini.” Saat itu kebetulan hujan, sehingga yang mengendarai sepeda motor tadi pake jas hujan, tapi tetep saja tidak sempurna bisa melindungi dirinya dari guyuran hujan. Pengendara sepeda motor tadi tidak mempedulikan dua petani yang berjalan tadi, sampai, selang beberapa saat, mereka disalib oleh mobil pick up. Suami dari pasangan pengendara motor tersebut berfikir begini “Enak ya punya mobil pick up, tidak kehujanan kayak gini, bisa bawa barang-barang yang banyak.” Ternyata di dalam mobil pick up tersebut juga ada pasangan suami istri. Kasusnya lagi-lagi sama dengan yang terdahulu, mobil pick up tersebut juga disalib oleh mobil marcedes baru yang catnya berkemilauan, pintunya saja bisa dibuat ngaca. Sontak istri dari pasangan pengemudi pick up tersebut berkhayal juga, setelah itu bilang ke suaminya, “Pak, gimana ya rasanya punya mobil sebagus itu, enak ya pak ...” Ternyata di dalam mobil tersebut hanya ada seorang direktur perusahaan ternama yang akan menjenguk ibunya yang sedang sakit, sedangkan istrinya sedang main golf di luar kota. Ternyata ada yang tertinggal, sehingga ia harus putar balik ke rumahnya. Di jalan, dia berpapasan dengan sepasang petani yang ternyara masih bergandengan tangan karena harus memegang pelepah pisang untuk mereka gunakan sebagai payung untuk melindungi kepala mereka dari air hujan. Melihat pemandangan yang seperti itu, sambil menyetir, direktur tersebut berfikir “Betapa bahagianya sepasang petani tersebut, bergandengan mesra dengan istrinya dibawah rintik-rintik hujan, sedangkan aku, target-target kantorku banyak yang belum terselesaikan, ibu saya sakit, tapi istri saya malah main golf di luar kota, ah…., seandainya aku jadi petani tadi….”
            Begitulah yang banyak kita jumpai dalam kehidupan kita, kita sering kali kebingungan, apakah kebahagiaan itu, bagaimanakah kita dapat meraih kebahagiaan itu. “Bagi orang yang mencari kebahagiaan, maka kebahagiaan itu adalah milik orang lain, sedangkan orang yang mensyukuri nikmat, maka kebahagiaan telah menjadi miliknya.” Jadi bagaimanapun keadaan kita, itulah yang kita miliki, itulah yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan jika kita mensyukurinya, bukan yang belum kita punyai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar